Kamis, 24 Maret 2011

Mu'tazilah (sebuah refleksi pemikiran)


A.  Pendahuluan

Terdapat beragam corak aliran yang muncul sejak awal dimulainya sejarah umat Islam,  terlebih di saat perkembangan Islam semakin meluas dan ramainya umat beragama lain yang menyatakan diri tunduk dengan ajaran Islam, maka akulturasi budaya dan tidak sedikit ajaran-ajaran agama sebelum Islam pun menyelinap di dalam keyakinan umat Islam, baik yang berlatar politik, teologi, fikih, ushul fikih, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ini menyatakan betapa dinamisnya umat Islam, dengan  dihiasi luasnya khazanah pengetahuan dan warna-warni pemikiran.
Dapat dijelaskan secara lebih khusus, bahwa ketika umat Islam membaur dan terpengaruh dengan filsafat Yunani, maka muncullah nuansa baru dalam pemahaman masalah akidah di kalangan kaum muslimin. Yang paling mencolok dan menjadi ciri khasnya adalah kajian yang menjadikan akal atau rasio sebagai dasar argumen-argumen yang dibangun, termasuk saat membahas masalah  ketuhanan. Dan ilmu kalam, merupakan upaya preventif terhadap pengaruh-pengaruh tersebut, di mana dilakukan interpretasi akidah Islam dengan dasar rasional oleh para ulama Islam.
Dari beberapa aliran yang muncul sejalan perkembangan sejarah umat Islam itu, ada beberapa pemikiran yang mengundang kontroversi di kalangan umat, terutama masalah teologi. Dan satu di antaranya adalah Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang hendak mengetahui filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.[1]
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang bersifat rasional. Dan yang membedakannya dengan aliran teologi lainnya adalah pandangan teologinya banyak ditunjang oleh dalil-dalil aqliah (akal) sehingga sering disebut aliran Rasionalis Islam. Mu’tazilah dicetuskan oleh washil bin atha’ pada tahun 100H/718M.[2]
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama Hijriah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban Islam di kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyaklah orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari aspek akidah, baik yang menamakan dirinya Islam maupun tidak. Sebagaiman diketahui, sejak Islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam dan hidup di bawah naungannya.[3]
Akan tetapi tidak semuanya memeluk agama ini dengan segala keikhlasannya, hal ini bermula sejak masa pemerintahan khalifah Umawi, yang dimonopoli oleh orang-orang Islam dan bangsa Arab sendiri. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan kebencian dan menimbulkan keinginan untuk menghancurkan Islam dari dalam, karena Islam menjadi sumber kejayaan dan kekuatan mereka, baik psychis maupun mental.
Di antara lawan-lawan Islam dari dalam adalah golongan Rafidah yaitu golongan syi’ah ekstrim yang memasukkan unsur-unsur kepercayaan yang jauh sama sekali dari ajaran Islam, seperti kepercayaan agama Manu, aliran agnostic, golongan tasawuf-Hulu (inkarnasi) yang mempercayai bertempatnya Tuhan pada manusia. Aliran Mu’tazilah menjawab, bahwa tuhan tidak mungkin mengambil tempat apapun juga. Dalam keadaan demikian muncullah aliran Mu’tazilah yang kemudian berkembang dengan pesatnya, serta mempunyai metode dan paham sendiri.[4]
Penilaian menjadi sangat beragam ketika produk paham Mu’tazilah ini dikonsumsi oleh berbagai kalangan umat, ada yang memandang positif dan menjadikannya icon kebangkitan umat Islam, sebaliknya ada yang menyatakan paham yang dibawa sesat dan dapat merusak tatanan agama Islam, dan itu menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.[5]
Tentunya, kajian tentang berbagai aliran dalam Islam memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat khazanah dalam pemikiran, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap, sebab, sebagaimana pesan Imam Ali as, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya”; terjebak dalam kesalahpahaman berkepanjangan.
Dari itu, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini dengan arah pembahasan tentang sisi latar belakang kemunculan Mu’tazilah, Kedua, Ide-Ide Teologis Mu’tazilah, yang mencakup pembahasan al-Ushul al-Khamsah, di sini akan dideskripsikan juga tentang bagaimana pandangan umum Mu’tazilah tentang sifat Tuhan, iman dan kufur, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, posisi akal dan wahyu dan metode teologi mereka, Ketiga, Mihnah (inquisition), sebuah pemaksaan paham Mu’tazilah kepada kelompok lain. Pembahasan ketiga ini tidak disatukan dengan pembahasan kedua melihat besarnya pengaruh dari khalifah al-Ma’mun yang menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara terhadap perkembangan aspek sosio kultur umat Islam.

B. Asal Usul dan Penamaan Mu’tazilah

Term Mu’tazilah merupakan ism fa’il yang berakar dari kata‘azala-i’tazala, yang berarti memisahkan-menyingkir atau memisahkan diri. Maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri. Sedangkan untuk memahami Mu’tazilah dari sudut pandang terminologi, dalam hal ini Mu’tazilah sebagai sebuah kelompok atau aliran, perlu kiranya ditelusuri kapan, untuk siapa pertama kali istilah ini digunakan dan mengapa?[6]
Dari literatur[7] yang penulis dapatkan, terdapat dua versi tentang awal penggunaan term ini: Pertama, Mu’tazilah adalah istilah yang digunakan bagi kelompok pengikut Washil bin ‘Atha’ (80 H-131 H) yang memisahkan diri dari halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri (21 H-110 H). Hal ini dapat ditemukan dalam al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani berkata :
“…seseorang mendatangi halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri, lalu bertanya: “Wahai Imamuddin (guru besar agama), di zaman kita ini telah muncul suatu jemaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar, karena menurut mereka dosa besar itu kufur, mengeluarkan mereka dari agama, mereka itulah golongan Khawarij. Dan ada juga golongan lain yang menangguhkan hukum pelaku dosa besar, dan dosa besar itu sendiri menurut mereka tidaklah merusak keimanan, karena mereka menganggap amal tidak termasuk bagian dari iman, dan perbuatan maksiat tidak akan merusak iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bagi kekufuran, mereka itulah golongan Murji’ah. Maka bagaimanakah Anda memberikan keputusan kepada kami tentang masalah ini dari sisi akidah?”. Lalu al-Hasan berfikir menimbang-nimbang, sebelum sempat beliau menjawab, Washil bin ‘Atha’ berkata: “Saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin sepenuhnya (mutlak) dan juga tidak kafir sepenuhnya (mutlak), melainkan dia berada di suatu tempat antara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak juga kafir”, kemudian dia berdiri meninggalkan majelis, pindah ke sisi masjid lainnya, untuk mengajarkan pahamnya kepada segolongan murid (pengikut) al-Hasan, kemudian al-Hasan berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita ( اعتزل عنا واصل )”, maka dinamakanlah dia dan para pengikutnya dengan Mu’tazilah”.[8]
Dari teks tersebut jelas bahwa tindakan Washil yang memisahkan diri dari majelis al-Hasan al-Bashri merupakan sebab penamaan mereka dengan Mu’tazilah, dan yang mengungkapkan istilah itu adalah Imam al-Hasan al-Bashri. Ini adalah versi yang paling banyak dipakai.
Aliran ini muncul di zaman Bani Umayyah. belum ditemukan literatur yang secara pasti menyebutkan tahun berapa terjadinya peristiwa yang disebutkan al-Syahrastani di atas, namun dengan memperhatikan usia tokoh-tokoh yang terlibat dalam kemunculannya, maka bisa diperkirakan bahwa aliran ini muncul di sekitar tahun 100 H-110 H, dan ini sesuai dengan pendapat al-Maqrizi yang mengatakan bahwa mereka muncul setelah abad I Hijriyah.[9]
Kedua , Mu’tazilah adalah kelompok yang tidak ingin terlibat dalam sengketa panjang antara golongan Ali dan Mu’awiyah, khususnya lagi ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah . Mereka lebih memilih untuk meniggalkan urusan-urusan politik dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan memperkuat akidah dengan metode pemahaman Ulama Salaf. Maka bisa dikatakan bahwa politik adalah penyebab munculnya kelompok ini.
Penggunaan istilah Mu’tazilah untuk mereka dapat dilihat dalam perkataan beberapa penulis sejarah klasik, seperti yang dikutip Ali Mushthafa al-Gharabi dari ungkapan Abul Fida’ dalam bukunya al-Akhbar: “…dan mereka menamai kelompok tersebut (yang memisahkan diri dari golongan Ali dan Mu’awiyah) dengan Mu’tazilah karena mereka tidak ikut membai’at Ali”. Beliau juga mengutip dari kitab al-Aghani: “..dan ayah Sya’ir, Ayman bin Khuzaim, adalah salah seorang yang memisahkan diri atau tidak ikut terlibat (اعتزل) dalam perang Jamal dan Shiffin, dan dia juga tidak ikut dalam peristiwa-peristiwa setelah kedua perang tersebut”. Demikian juga yang beliau dapatkan dari Tarikh al-Thabari, bahwa Qais bin Sa’ad menulis surat kepada Ali: “Saya menghadapi orang-orang Mu’tazilah/yang mengasingkan diri (rijalan mu’tazilin), mereka meminta saya agar membiarkan mereka sampai kondisi umat stabil”.
Mu’tazilah versi ini diperkirakan muncul sekitar tahun 35 H atau 36 H, karena Ali Mushthafa al-Gharabi mengutip perkataan Abul Fida’ tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 35 H, dan mengutip dari Tarikh al-Thabari tentang peristiwa tahun 36 H.
Dari dua versi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan[10]:
1.    Mu’tazilah versi pertama dan kedua berbeda dari sisi latar belakang munculnya. Versi pertama muncul dilatarbelakangi oleh masalah akidah (teologi), yaitu tentang nasib pelaku dosa besar, sedangkan versi kedua muncul dilatarbelakangi oleh masalah politik, yaitu konflik politik antara golongan Ali dan Mu’awiyah yang berujung pada penyerahan kekuasaan oleh Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah.
2.    Mu’tazilah versi kedua lebih dahulu muncul dari Mu’tazilah versi pertama
3.    Yang menjadi objek pembahasan makalah ini tentunya versi yang berkaitan dengan teologi, yaitu Mu’tazilah versi pertama yang memang Mu’tazilah inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang membicarakan term Mu’tazilah di sepanjang zaman sejak munculnya.[11]
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka istilah Mu’tazilah yang penulis maksud dalam makalah ini adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid.
Tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, jelas bahwa penamaan ini bukanlah berasal dari kalangan Mu’tazilah sendiri, namun dari pihak lain, dalam hal ini secara kongkritnya adalah al-Hasan al-Bashri yang mengungkapkan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita” (اعتزل عنا واصل). Kalangan Mu’tazilah sendiri pada awalnya tidak senang dengan sebutan ini, sebab sebutan ini bisa disalahartikan oleh lawan-lawannya dengan konotasi negatif untuk menyudutkan mereka. Karena tidak ada jalan untuk menghindarinya, sehingga merekapun mengemukakan alasan kebaikan penggunaan nama Mu’tazilah bagi mereka, seperti yang dilakukan Ibnu al-Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal, dia mengatakan bahwa mereka sendiri yang memberikan nama itu atas diri mereka, bukan kelompok lain, dan mereka tidak menyalahi Ijmak, akan tetapi sebaliknya justru mereka menggunakan Ijmak yang ada di masa-masa awal Islam. Bahkan Ibnu al-Murtadha juga menggunakan al-Qur’an dan Hadits untuk mendukung penamaan ini, seperti:
1.    QS. Al-Muzammil: 10 “..dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Menjauhi mereka adalah dengan i’tizal (memisahkan diri) dari mereka.
2.    Hadits:
 من اعتزل الشر سقط في الخير
“Siapa yang menjauhi keburukan, akan jatuh dalam kebaikan”
Sesungghnya yang dilakukan Ibnu al-Murtadha ini hanyalah usaha untuk menutupi kelemahan dan membantah tudingan-tudingan negatif dari lawan-lawan mereka.
Pengikut Mu’tazilah juga mendapatkan predikat seperti Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid, Ahlu al-Haq, dan kelompok al-Qadariyah[12], walaupun mereka menolak sebutan “Qodariyah[13] al-Jahmiyah, al-Khawarij, al-Wa’idiyah, dan al-Mu’aththilah. Namun mereka lebih menyukai istilah Ahlu al-’Adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan tauhid) sebagai nama bagi golongan mereka. Istilah ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar seluruh ajaran mereka (al-ushul al-khamsah). Pihak lawan menjuluki Mu’tazilah sebagai golongan Free Will dan Free Act, Karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Nama Mu’tazilah pada dasarnya adalah istilah biasa yang netral, tidak berkonotasi positif ataupun negatif, dan semoga kita bisa secara objektif dapat menelusuri tiap pemikiran yang sempat menjadi khazanah peradaban pemikiran umat Islam.
Di awal masa perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran yang bersifat filosofis. Alas an lainnya karena Mu’tazilah dinilai kurang konsisten pada sunnah rasul dan sahabat.
Dan baru mendapatkan dukungan yang luas terutama di kalangan intelektual, pada masa khalifah al-Makmun, penguasa Abbasiyah (198-218 H /813-833 M). kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah al-Makmun menganjurkan kepada para ulama agar mengikuti ajarannya dan menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara.[14] Hal ini disebabkan karena al-Makmun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahun dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain, yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa mihnah (inquisition). Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H / 847-861 M) memegang tampuk pemerintahan menggantikan al-Wasiq (memerintah 228-232 H / 842-867 M).
Di masa al-Mutawakkil dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan semakin tidak mendapat simpati masyarakat, dan semikin memburuk setelah al-Mutawakkil mengganti mazhab asy’ariyah sebagai mazhab resmi Negara.[15]
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya dinasti buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak lama karena Buwaihi segera digulingkan oleh Bani Saljuk yang pemimpinnya cenderung Asy’ariyah, terutama sejak pemerintahan Alp Arslan dengan perdana menterinya Nizam al-Mulk. Selama berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ada beberapa faktor yang mempercepat hilangnya aliran Mu’tazilah, di antaranya buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan tinggi Islam. Namun sejak awal abad 20 berbgai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari diberbagai perguruan tinggi Islam, seperti di Universitas al-Azhar.
C.  Doktrin dan Ide-ide Pokok Mu’tazilah

1.      Al-Ushul al-khamsah
Doktrin Mu’tazilah dikenal dengan sebutan al-Ushul al-khamsah (lima ajaran dasar), yang dalam istilah harun Nasution disebut dengan Pancasila Mu’tazilah[16].
Dalam perkembangan pemikirannya, para penganut aliran Mu’tazilah tidaklah selalu berada dalam satu garis yang sama, juga sering terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, perbedaan ini misalnya bisa dilihat pada buku Maqalat al-Islamiyin karangan Abu al-Hasan al-Asy’ari, di mana terdapat silang pendapat panjang antara tokoh-tokoh Mu’tazilah tentang sifat Allah SWT al-’Alim. Namun perbedaan-perbedan itu semua bagi mereka masih dalam ruang lingkup masalah furu’. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh sikap mereka yang banyak lebih berpegang pada akal daripada naql atau nash, dan faktor pendorong mereka membahasa masalah-masalah tersebut adalah karena masalah-masalah tersebut tidak dibicarakan oleh nash al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan masalah-masalah yang dibicarakan secara qath’i di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada perbedaan di antara mereka, dari nash-nash qath’i itu mereka membuat dasar atau pokok (ushul) pemikiran yang mereka sepakati, sedang yang di luar ushul itu mereka berikan kebebasan bagi akal untuk membahasnya.
Ada banyak hal yang disepakati Mu’tazilah dalam ide-ide teologinya, namun semuanya akan bermuara pada 5 hal pokok yang disebut al-Ushul al-Khamsah[17], yaitu: Al-Tauhid (Tauhid), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Keburukan).
Lima hal pokok itu merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah. Terbentuknya al-Ushul al-Khamsah terjadi setelah melalui sebuah proses. Pada masa Washil baru terbentuk 4 dasar, yaitu: Al-Tauhid wa al-Tanzih  (Tauhid dan Pensucian), Manusia mampu berbuat dan menciptakan perbuatannya sendiri (al-Qadr), Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat), Meyakini bahwa pasti ada salah satu pihak yang salah dalam pertikaian antara Utsman r.a dan lawan-lawannya, dan Ali r.a dan lawan-lawannya, namun tidak bisa dijelaskan pihak mana yang salah itu.
Kemudian empat hal ini pada gilirannya berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran di kalangan Mu’tazilah, sehingga menjadi lima, sebagaimana di atas, ketika kepemimpinan Mu’tazilah beralih ke tangan Abu al-Hudzail al-’Allaf (w. 235 H) dan Ibrahim bin Sayyar al-Nazhzham (w. 231 H).
Sebagian kalangan mengatakan al-Ushul al-Khamsah ini adalah rukun iman mereka, atau mereka mengatakan bahwa Mu’tazilah menambah atau merubah rukun iman dengan lima hal ini. Penulis menilai pandangan ini terlalu berlebihan, dan penulis lebih cenderung mengatakan lima hal ini adalah sebuah usaha Mu’tazilah untuk menjelaskan konsep ushul (hal prinsipil) dalam teologi Islam dalam pandangan mereka. Sehingga dengan mengetahui hal ushul ini dapat dilihat perbedaannya dengan hal furu’ (hal cabang/teknis), yang pada gilirannya memperjelas hal apa saja yang tidak boleh diperdebatkan dan yang boleh diperdebatkan. Barangkali sama halnya dengan konsep para ulama tentang hal-hal qath’i dalam Islam yang kemudian disebut dengan al-Ma’lum min al-Din bi al-Dharurah.

A. Al-Tauhid (Tauhid/ keesaan)
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih  (pensucian). Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih .
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan bahwa sesungguhnya konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (‘umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (‘ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (‘ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak.[18]
Dari kutipan tersebut di atas, A. Hanafi M.A berkesimpulan:
1. Aliran Mu’tazilah mengenal pikiran-pikiran filsafat yang ada pada masanya, serta memakai beberapa istilahnya, seperti Syakhsh, Jauhar, ‘Aradh, Hulul, Qadim dan sebagainya.
2. Dengan perkataan “Laysa Kamitslihi Syai’ (Tidak ada yang menyamai-Nya)” mereka menolak pikiran-pikiran golongan Mujassimah (Anthromorpis) dan membuka luas pintu takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia dengan takwil majazi.
3. Dengan Tauhid yang mutlak, aliran Mu’tazilah menolak konsepsi agama dualisme dan trinitas tentang Tuhan.
4. Dengan perkataan “Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak)”, mereka menolak kepercayaan orang Nasrani, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilahirkan dari Tuhan Bapa sebelum masa dan jauharnya juga sama.
5. Dengan perkataan “Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq)”, mereka menolak teori Idea (contoh) dari Plato dan Demiurge, juga teori Emanasi (limpahan) atau Triads yang dianggap menguasai alam semesta ini oleh aliran Neo-Platonisme, yaitu Tuhan (Yang Pertama), Logos, dan Jiwa Dunia (Worldsouls).[19]
Di samping kesimpulan tersebut, pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja bagi mereka cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Dalam mempertahankan paham keesaan Allah swt, Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asy’ariyah.
Mu’tazilah yang menafikan segala sifat mendapatkan julukan sebagai golongan Nafy al-Shifat. Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada di luar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’)[20], yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
Berbeda dengan jumhur Mu’tazilah, al-’Allaf berpendapat agak berbeda, dia mengatakan: “Allah Mengetahui dengan Ilmu, Ilmu itu adalah Dzat-Nya, Allah Berkuasa dengan Kuasa, Kuasa itu adalah Dzat-Nya, dan Berkehendak dengan Kehendak (iradah), Kehendak itu adalah Dzat-Nya”. Pendapat ini tidak berbeda dengan jumhur Mu’tazilah dari sisi bahwa sifat-sifat itu pada dasarnya adalah ‘ain dzat, namun pendapat ini dikritik, karena memiliki arti, bahwa Ilmu Allah adalah Allah, sementara menurut logika “orang yang mengetahui” bukanlah “ilmu/ pengetahuan” itu sendiri.
Itu di antara sedikit perbedaan di kalangan Mu’tazilah tentang sifat Allah, namun pada intinya mereka semua bersepakat menolak pendapat Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Sifat Allah itu suatu tambahan terhadap Dzat (za’idah ‘ala al-dzat). Dari sisi ini Zuhdi Jarullah, mengutip al-Ghazali dari bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, mengatakan Mu’tazilah berada pada posisi yang tepat, dan Asy’ariyah juga benar sampai batasan pendapat mereka bahwa Sifat Allah Qadim dan menyatu dengan Dzat (qa’imah bi al-dzat), namun ketika mereka menjelaskan konsep ini dengan bahwa Sifat-Sifat itu bukan ‘ain dzat (Dzat itu sendiri) melainkan za’idah ‘ala dzat, mereka telah melakukan sebuah kekeliruan.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Atas dasar tauhid, ketika berbicara tentang Kalam (Firman Allah), mereka menetapkan bahwa al-Quran adalah makhluk (yang diciptakan) Allah. Dengan demikian al-Quran bukan qadim melainkan hadits atau makhluk.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c.    Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Konsep tauhid Mu’tazilah membawa konsep penolakan paham antropomorfisme. Pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat (baca: di surga), membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT. Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
 “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”. Mereka juga mentakwil ayat:
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi. Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
d.   Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan  Tuhan dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya. Tujuannya tetap satu, yaitu Tanzih .

B. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, al-’adl (العدل) merupakan bentuk mashdar dari ‘adala (عدل) – ya’dilu (يعدل) yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya.
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep tanzih  mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep tanzih  jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), di mana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Kelanjutan dari prinsip-prinsip di atas melahirkan beberapa ide-ide khas Mu’tazilah :
1. Allah menciptakan makhluk atas dasar tujuan dan hikmat kebijksanaan, ini selanjutnya merupakan salah satu inti sari dari pendapat Mu’tazilah bahwa semua perbuatan Allah ada sebab dan tujuannya (af’alullah mu’allalah).
2. Allah tidak menghendaki keburukan dan tidak pula memerintahkannya, ini merupakan salah satu isi konsep al-Shalih wa al-Ashlah (yang baik dan yang terbaik) dalam teologis Mu’tazilah.
3. Manusia mempunyai kemampuan (qudrah) untuk mewujudkan/menciptakan perbuatannya, sebab dengan cara demikian, dapat dipahami adanya perintah-perintah Allah, janji dan ancaman-Nya, dosa dan pahala, sorga dan neraka, ujian dan musibah yang diberikan-Nya, pengutusan Rasul-Rasul, dan tidak ada kezaliman pada Allah. Ini adalah konsep yang mereka sepakati dalam masalah Qadha (ketetapan) dan Qadar (takdir) Allah, serta kaitannya dengan masalah perbuatan manusia yang sebelumnya telah diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah, oleh sebab konsep ini pula mereka terkadang disebut Qadariyah.
4. Allah harus (mesti) mengerjakan yang baik dan yang terbaik. Karena itu, menjadi kewajiban Allah untuk menciptakan manusia, memerintahkan manusia dan membangkitkannya kembali, ini juga bagian dari konsep al-Shalih wa al-Ashlah, dan juga berkaitan dengan konsep luthf (rahmat Allah), dimana Allah menciptakan luthf sebagai potensi bagi manusia untuk mengikuti rahmat dan hidayah Allah, tetapi meskipun demikian manusia tetap saja pilihan-pilihan manusia yang tampak dalam tindakan dan perbuatannya adalah ciptaan manusia bukan ciptaan Allah.[21]
5. Sebagai salah satu bukti keadilan Allah dan kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya, Allah SWT menciptakan akal bagi manusia, yang bisa membedakan baik dan buruk. Dari sisi ini kemudian lahirlah konsep Mu’tazilah yang berkaitan dengan posisi dan fungsi akal bagi manusia, yaitu bahwa manusia yang berakal dengan akalnya mampu membedakan antara sesuatu yang baik dan yang buruk, sebelum datangnya Syari’at, bahkan lebih dari itu mampu untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah), jika dia tidak menggunakan akalnya untuk mengenal Allah maka dia berhak dihukum selama-lamanya. Imam al-Ghazali di dalam bukunya al-Mustashfa, sebagaimana dikutip oleh Zuhdi Jarullah, menjelaskan bahwa Mu’tazilah membagi perbuatan kepada dua jenis: baik dan buruk, dan mereka berpandangan bahwa manusia mampu membedakan perbuatan baik dan buruk dengan akalnya, sebelum datangnya Syari’at (wahyu). Hal itu boleh jadi melalui hukum dharurah al-’aql (yang pasti langsung diterima akal tanpa perenungan), seperti baiknya tindakan menyelamatkan orang yang tenggelam, baiknya kejujuran, buruknya berdusta, atau boleh jadi juga melalui hukum nazhar al-’aql (yang bisa diterima akal setelah melalui perenungan), seperti mengetahui baiknya kejujuran meskipun mengandung bahaya dan mengetahui buruknya berdusta meskipun mengandung manfaat. Baik-buruknya semua perbuatan itu dapat diketahui akal kecuali perbuatan-perbuatan Ibadah, karena yang seperti ini media untuk mengetahuinya adalah pendengaran bukan akal.[22]
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/ mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
C. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan Tuhan. Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.[23]
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
Mu’tazilah mengingkari adanya “syafa’at” (pengampunan) pada hari kiamat, dengan mengenyampingkan ayat-ayat yang menetapkan syafaat[24], karena syafaat menurut mereka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.[25]
D. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. [26]
Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya).[27]
Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih berpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi. Ali Mushtafa al-Gharabi memparkan bahwa iman dalam pandangan Mu’tazilah memiliki tiga rukun: qaul, ma’rifah, dan ‘amal. Qaul (ucapan) harus benar-benar bisa menjelaskan apa yang ada di hati, dan tidak mungkin bisa membedakan antara mukmin dan yang tidak mukmin kecuali dengan ucapan lisan. Dan Ma’rifah (pengetahuan) mereka anggap sebagai bagian dari iman, sehingga mereka menolak taklid dalam beriman, hal ini menyebabkan mereka sangat memperhatikan bahasan-bahasan logika. Sedangkan ‘Amal (amal perbuatan) juga menjadi rukun penting bagi keimanan dalam konsep Mu’tazilah, hanya saja meninggalkan amal tidak menjadikan seseorang kafir secara mutlak, melainkan akan menjadikannya fasik, karena pada dirinya terdapat dua bagian iman lainnya, yaitu qaul dan ma’rifah. Inilah sebenarnya dasar pendapat mereka tentang al-Manzilah baina al-Manzilatain.[28]
Jadi bagi Mu’tazilah patokan iman seseorang adalah tiga hal di atas (qaul, ma’rifah, dan ‘amal), jika ketiga hal itu tidak ada pada diri seseorang baru bisa dikatakan seseorang itu kafir, sedangkan jika pada diri seseorang hanya terdapat sebagiannya saja, maka dia disebut fasik, tidak kafir.
E.  Al-Amru bil Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kepada Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Prinsip ini lebih cenderung pada wilayah amalan lahir dan bidang fikih daripada bidang kepercayaan dan ketauhidan.[29] Prinsip ini merupakan prinsip yang diakui dan menjadi kewajiban seluruh umat Islam, karena perintahnya jelas di dalam al-Qur’an[30] dan Hadits. Dan yang ingin diwujudkan dengan adanya prinsip ini adalah untuk mewujudkan secara praktis prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan dalam tingkah laku sosial.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya. Dan prinsip ini jugalah yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya Mihnah di zaman Abbasiyah.
   2. Mihnah[31]
Mihnah dalam pembahasan ini adalah pemaksaan paham Mu’tazilah kepada kelompok lain. Paham Mu’tazilah yang dipaksakan itu adalah bahwa al-Quran itu makhluk dan diciptakan Allah swt. Karena itu al-Quran itu tidak qadim, dan bagi mereka yang menentang wajib dihukum. Mihnah dilakukan dengan ujian keimanan yang dilakukan Mu’tazilah terhadap masyarakat, khususnya para ulama dan cendikiawan, dengan memanfaatkan pengaruh mereka pada diri tiga orang khalifah Abbasiyah: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq.
Mihnah ini terjadi sekitar tahun 198 H-232 H, di mana Mu’tazilah mendapatkan posisi penting di hati khalifah. Dengan berlandaskan prinsip amar ma’ruf nahi munkar mereka mencoba memaksakan ide-ide teologis mereka kepada masyarakat. Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah al-Makmun menganjurkan kepada para ulama agar mengikuti ajarannya dan menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara.[32]
Adalah Ahmad bin Abu Du’ad yang menjadi tokoh sentral peristiwa minhah ini. Beliau memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Khalifah al-Makmun. Dengan kedekatan hubungan itu, dia berusaha mempengaruhi Khalifah terutama soal ide “al-Qur’an Makhluk” dan menelurkan ide untuk melaksanakan ujian (mihnah).
Usahanya itu berhasil, dan pada tahun 212 H mulailah al-Makmun menganut paham “al-Qur’an Makhluk’-nya Mu’tazilah. dan baru pada tahun 218, ketika mengunjungi Damaskus, dia melakukan mihnah terhadap penduduk Damaskus seputar masalah al-Adl (Keadilan) dan Tauhid, dua prinsip pokok Mu’tazilah. Setelah itu baru dilaksanakan ujian tentang permasalahan al-Qur’an terhadap seluruh Qadhi, para saksi, dan Ulama Hadits di Baghdad dengan mengirimkan surat perintah kepada Kepala Syurthah, Ishaq bin Ibrahim, untuk melakukannya. Lalu mulailah mihnah itu dilaksanakan oleh Ishaq terhadap para Ulama, dan termasuklah di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal. Semua mereka mengatakan al-Qur’an Kalamullah, tapi mereka tidak mau mengatakan al-Qur’an Makhluk, karena demikianlah pandangan Salaf, yaitu tawaqquf (berhenti membahas) hakikat kalamullah itu.
Jawaban tiap orang itu dikirim ke al-Makmun, dan al-Makmun menjawab dengan mengatakan bahwa mengatakan al-Qur’an qadim adalah bentuk kekufuran yang nyata dan syirik, sehingga dia memerintahkan mereka semua untuk bertaubat, siapa yang bertaubat, maka akan diangkat namanya dan diberikan keamanan, namun siapa yang tidak mau bertaubat maka akan ditahan dan dikirim menghadap Khalifah agar beliau langsung yang menanyai mereka, jika masih tetap dengan pendiriannya maka dilakukanlah eksekusi mati. Pada titik ini, penulis melihat Mu’tazilah bukan hanya menghukum mereka yang mengatakan “al-Qur’an bukan makhluk”, tapi juga menyiksa mereka yang sekedar tidak sepakat dan berhenti pada pernyataan “al-Qur’an Kalamullah”, artinya Mu’tazilah mulai menghitamputihkan manusia ketika itu, siapa yang setuju selamat, yang tidak setuju -termasuk juga mereka yang diam- disiksa dan dieksekusi.
Demikianlah mihnah itu terjadi sampai masa al-Watsiq, namun eksekusi tidaklah secepat yang dibayangkan. Selama para ulama itu tidak mengungkapkan secara pasti jawabannya, apakah al-Qur’an makhluk atau tidak, yang terjadi adalah penyiksaan-penyiksaan sampai mereka memilih salah satu jawaban secara jelas. Ketika jawaban itu jelas “bukan makhluk” barulah eksekusi dilaksanakan. Oleh karena itulah banyak juga di kalangan ulama itu yang wafat karena beratnya siksaan.
Mihnah berakhir seiring naiknya al-Mutawakil sebagai Khalifah tahun 232 H, yang juga sebagai titik balik kemunduran pengaruh Mu’tazilah, khususnya di kalangan pejabat pemerintahan.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143)

Mihnah menimbulkan efek historis terbesar dari pengaruh paham Mu’tazilah, atau yang disebut juga dengan al-fitnah al-kubra, dan disebabkan ketika pemahaman itu dipaksakan secara kepada orang lain. Hal ini memang memberi kesan ekstrim namun tidak harus menjadikan kita menutup mata terhadap sebuah dinamika sejarah. Sehingga dalam konteks kekinian, Mu’tazilah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya bagi sebuah tradisi keilmuan.
Fakta sejarah menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara agama dengan filsafat. Di mana  kajian hal-hal metafisika dan segala sesuatunya dikaji secara mendalam, tidak ada daerah yang terlarang bagi akal pikiran, karena bagi mereka akal pikiran diciptakan untuk mengetahui dan mencari, dan ia memang akan mengetahui segala sesuatu, sesuai dengan kedudukannya sebagai penganjur agama. 
Dan sekali lagi tentunya, kajian tentang Mu’tazilah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran aliran Mu’tazilah ini, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk  menentukan sikap, Sebab, sebagaimana pesan Ali bin abi Thalib, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya”. Islam sangat menentang segala bentuk ekstrimisme, dan mengarahkan umatnya kepada jalan washathiyah (moderat, objektif, dan berakhlak).

D. Penutup
Dari Uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Mu’tazilah adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
2.    Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
3.    Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
4.    Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang akruf dan Melarang Kemunkaran).
5.    Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan membawa dampak negatif.
6.    Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan khazanah keIslaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.
7.    Kegiatan orang-orang Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia Islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran Mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang di kalangan syiah zaidiah.
















DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, dalam http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok/ (diunduh  tanggal 4 Desember 2010, jam 10:45)
A. Hanafi, M.A., Pengantar Teologi Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Baru, 2003
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-husna Zikra, 1995,   jilid 2.
Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilai al-Mushallin (Mesir, 1950), jilid I.
Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam,
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar baru, 1994), jilid 3
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam,Jakarta: 1996
Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, terj., Bandung, tt.



[1] A. Hanafi, M.A., Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Baru, 2003),  hlm.75
[2] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar baru, 1994), jilid 3, hlm. 290
[3] A. Hanafi, M.A. Pengantar Teologi Islam...hlm. 75
[4] Tarikhul Filsafah al-Arabiyah  dalam A. Hanafi, hlm 76.
[6] A. Hanafi, M.A. Pengantar Teologi Islam... hlm. 76
[8] Lihat kesimpulan A. Hanafi, M.A. Pengantar Teologi Islam... hlm. 76
[9] Http://ragab304.wordpress.com... ( diunduh  tanggal 4 Desember 2010, jam 10:45)
[10]  Meskipun kedua versi ini berbeda, namun C.A. Nallino, seorang orientalis Italia, berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah yang muncul belakangan mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah yang muncul pertama kali, dan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama. Pendapat ini berdasarkan kepada pendapat al-Mas’udi yang lebih cenderung mengatakan bahwa Mu’tazilah adalah golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang Utsman, Ali, dan Mu’awiyah dan pelaku dosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah, yang memandang mereka tetap mukmin. Barangkali Nallino melihat ada titik temu antara kedua kelompok ini dari sisi politik, bahwa Mu’tazilah pertama murni terbentuk karena faktor politis, sedangkan yang kedua walaupun pada dasarnya terbentuk karena faktor teologis, namun faktor teologis itupun berakar pada faktor politis yang tidak jauh beda dengan faktor politis yang membentuk Mu’tazilah versi pertama. Namun meskipun ada pertalian antara keduanya, kita agak sedikit kesulitan menganalisa sisi lain yang cukup berbeda dari kedua kelompok ini, bahwa Mu’tazilah pertama cenderung meninggalkan masalah politik dan berkosentrasi pada urusan ibadah serta berakidah seperti paham Ulama Salaf yang tidak merasionalkan masalah-masalah keimanan dan hal-hal ghaib secara mendalam, sementara Mu’tazilah generasi kedua justru dengan pembahasan masalah dosa besar itu, mereka secara tidak langsung terlibat dalam masalah politik, dan mulai lari dari paham akidah Ulama Salaf. Maka, penulis melihat pendapat Nallino tersebut tidak bisa diterima secara utuh, dan juga tidak bisa ditolak secara utuh, karena sesuatu yang tidak bisa diterima secara utuh, juga tidak bisa ditolak secara utuh (ma la yuqbalu kulluh la yutraku kulluh), artinya masih bisa diperdebatkan secara bebas (qabil lin niqasy).
[11]  Http://ragab304.wordpress.com... ( diunduh  tanggal 4 Desember 2010, jam 10:45)
[12] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam (Jakarta, 1996), hlm. 150
[13] Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, terj. (Bandung, tt), hlm. 48
[14] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995), jil. 2, hlm. 375
[15] Ensiklopedi Islam,... hlm 290
[16] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm, 43
[17] Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam, hlm 379.
[18] Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilai al-Mushallin (Mesir, 1950), jil. I. Hlm. 216
[19] A. Hanafi, dalam Http://ragab304.wordpress.com... ( diunduh  tanggal 4 Desember 2010, jam 10:45)
[20] Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam, hlm. 375
[21] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam... hlm. 93
[22] Http://ragab304.wordpress.com... ( diunduh  tanggal 4 Desember 2010, jam 10:45)
[23] A. Hanafi... hlm. 93
[24] Baca al-Baqarah 254  dan 45.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& $£JÏB Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö7s% br& uÎAù'tƒ ×Pöqtƒ žw ÓìøŠt/ ÏmŠÏù Ÿwur ×'©#äz Ÿwur ×pyè»xÿx© 3 tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ  

[25] A. Hanafi,  hlm. 94
[26] Ibid
[27] Http://ragab304.wordpress.com... ( diunduh  tanggal 4 Desember 2010, jam 10:45)
[28] Ibid
[29] A. Hanafi,... hlm 96
[30] Baca Ali Imran 104, Luqman 17
[31] Mihnah dari sisi kebahasaan berakar dari kata mahana (محن), yamhanu (يمحن), mahnan (محنا), yang berarti mencoba dan menguji, sedangkan mihnah sendiri juga bisa berarti cobaan atau bencana. Jadi bisa saja dibaca mahnah atau mihnah, karena makna dasarnya sama, hanya saja yang kedua lebih sering dikonotasikan dengan musibah dan bencana.
[32] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995), jil. 2, hlm. 375

Tidak ada komentar:

Posting Komentar