Rabu, 27 Oktober 2010

NALAR (Tinjauan Filsafat Ilmu)



 
Tuhan telah mengajarkan kepada Adam seluruh nama,[1] maka secara simbolik manusia mewarisi buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. bahwa Dia mengetahui yang mana yang benar dan mana yang salah, yang mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada pengetahuan.
Manusia sebagai makhluk berpikir, menjadi satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor anak tikus tahu kucing yang mana yang ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya.

Tetapi berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya lebih daripada sekedar untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup ini tapi lebih dari itu, dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna kepada kehidupannya, “memanusiakan” diri dalam hidupnya

Terdapat dua kelebihan manusia yang memungkinkannya dalam  mengembangkan pengetahuannya, yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran, sebab berpikir pun tidak senantiasa bernalar. Manusia bukan semata-mata mahluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, di samping wahyu: yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan mahluknya. inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang khas di muka bumi ini. 



 




[1] Lihat QS. Al-Baqarah (2) :  31


dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"


Arah Baru Tradisi Keilmuan

Perubahan mendasar Tradisi Pendidikan Indonesia adalah perubahan Tradisi Lisan menjadi Tradisi Tulisan, dapat dibayangkan tradisi lama pencarian ilmu dengan tradisi lisan yang begitu boros menyiapkan waktu bertahun-tahun menjadi syarat memperoleh ilmu, katakan saja, waktu di pondok pesantren; belajar nahwu sharaf 1 tahun, belajar tafsir 1 tahun, belajar dan mengkaji kitab kuning 4 tahun, maka sudah menyita waktu 6 tahun untuk itu...

Selanjutnya seiring dengan perkembangan teknologi dan perkembangan paradigma, orang dengan waktu singkat bisa mengakses dan mengkaji lebih banyak dan lebih luas tentang suatu ilmu... betapa tradisi tulisan memberikan kemudahan dalam mengakses keilmuan klasik maupun kontemporer.